Kamis, 25 September 2008

Kegagalan pertama (?) sebagai orang tua

I feel very disappointed with myself. Sebagai orang tua saya baru kali ini saya merasa gagal. Setidaknya ini kegagalan yang saya sadari. Ngga tau ya kalau sebelumnya pernah terjadi kegagalan, tapi tidak saya sadari.

Penyebabnya? Wina—anak saya yang pertama, anak gadis saya yang cantik—harus memakai kacamata di usianya yang baru 6 tahun. Memang, itu bukan akhir dunia (terjemahan bebas dari it’s not the end of the world—red.), dan ada orang yang bilang itu sudah takdir. Tapi saya tetap merasa seharusnya saya bisa mencegahnya, bila saja saya memiliki sense of alertness yang lebih tinggi.

Sejak usia 4 tahun, Wina kerap memicingkan mata ketika menonton televisi atau membaca teks dari kejauhan. Saat itu saya dan istri sudah curiga. Namun ketika ditanya kenapa, Wina hanya menjawab, “Emang aku lagi pengen begitu.” Sempat beberapa kali terlontar wacana untuk membawanya ke dokter spesialis mata untuk diperiksa, tapi entah kenapa, tidak pernah terlaksana. Itulah sumber kesalahan pertama. Membiarkan bibit masalah berkembang hingga besar.

Barney si dinosaurus ungu adalah tontonan favorit Wina sejak dia mulai bisa berbicara. Sudah tak terhitung lagu dalam bahasa Inggris yang dia hafal dari sekian CD petualangan Barney yang kami belikan untuknya. Tapi kami lupa bahwa radiasi yang ditimbulkan oleh layar TV juga bisa memperparah kondisi mata Wina. Memang kami tidak pernah membiarkan Wina menonton dari jarak yang terlalu dekat atau sambil tidur-tiduran. Tapi tetap saja, memanjakannya dengan tontonan TV, meskipun atas nama pendidikan, merupakan sumber kesalahan yang cukup besar.

Pada waktu masih bayi, Wina sangat suka makan sayuran. Wortel & berbagai sayuran hijau dia lahap tanpa protes. Namun memasuki usia ke empat, tampaknya dia mulai bosan. Ada saja alasannya untuk tidak memakan sayuran apa pun yang disodorkan ibunya. Padahal kami sudah terlalu sering memberinya nasihat & contoh tentang pentingnya sayuran untuk kebugaran tubuh dan kesehatan mata. Tapi justru di situ tampaknya letak kesalahan kami. Kami hanya memberi nasihat (& contoh), tapi kurang gigih mencari strategi yang ampuh agar Wina suka memakan sayur kembali.

Ketika Wina mulai belajar di SD, makin kentara saja kekurangannya dalam penglihatan. So, minggu lalu kami membawanya ke dokter mata. Vonisnya jelas, Wina harus memakai kacamata. Tidak tanggung-tanggung, langsung minus 2. It really broke my heart. Terlebih ketika harus mengantarnya membuat kacamata. Siapapun yang berkacamata tahu betapa canggungnya seseorang yang baru pertama kali memakai kacamata minus. Jauh berbeda dengan memakai kacamata hitam anti silau.

Satu-satunya yang menghibur saya adalah, Wina tetap terlihat cantik meski berkacamata.

Rabu, 17 September 2008

Vincent (Starry, Starry Night)

By Don McLean

Starry, starry night
Paint your palette blue and gray
Look out on a summer's day
With eyes that know the darkness in my soul
Shadows on the hills
Sketch the trees and daffodils
Catch the breeze and the winter chills
In colors on the snowy linen land

Now I understand
What you tried to say to me
And how you suffered for your sanity
And how you tried to set them free
They would not listen
They did not know how
Perhaps they'll listen now

Starry, starry night
Flaming flowers that brightly blaze
Swirling clouds and violet haze
Reflect in Vincent's eyes of china blue
Colors changing hue
Morning fields of amber grain
Weathered faces lined in pain
Are soothed beneath the artists' loving hand
Now I understand
What you tried to say to me
And how you suffered for your sanity
And how you tried to set them free
They would not listen
They did not know how
Perhaps they'll listen now

For they could not love you
But still your love was true
And when no hope was left inside
On that starry, starry night
You took your life as lovers often do
But I could have told you Vincent
This world was never meant for one as beautiful as you

Like the strangers that you've met
The ragged men in ragged clothes
The silver thorn of bloody rose
Lie crushed and broken on the virgin snow

Now I think I know
What you tried to say to me
And how you suffered for your sanity
And how you tried to set them free
They would not listen
They're not listening still
Perhaps they never will...

10 Simple Rules for Dating My Daughter

Rule One
If you pull into my driveway and honk you'd better be delivering a package, because you're sure not picking anything up.

Rule Two
You do not touch my daughter in front of me. You may glance at her, so long as you do not peer at anything below her neck. If you cannot keep your eyes or hands off of my daughter's body, I will remove them.

Rule Three
I am aware that it is considered fashionable for boys of your age to wear their trousers so loosely that they appear to be falling off their hips. Please don't take this as an insult, but you and all of your friends are complete idiots. Still, I want to be fair and open minded about this issue, so I propose this compromise:
You may come to the door with your underwear showing and your pants ten sizes too big, and I will not object.
However, in order to ensure that your clothes do not, in fact, come off during the course of your date with my daughter, I will take my electric nail gun and fasten your trousers securely in place to your waist.

Rule Four
I'm sure you've been told that in today's world, sex without utilizing a "barrier method" of some kind can kill you. Let me elaborate, when it comes to sex, I am the barrier, and I will kill you.

Rule Five
It is usually understood that in order for us to get to know each other, we should talk about sports, politics, and other issues of the day. Please do not do this. The only information I require from you is an indication of when you expect to have my daughter safely back at my house, and the only word I need from you on this subject is “early”.

Rule Six
I have no doubt you are a popular fellow, with many opportunities to date other girls. This is fine with me as long as it is okay with my daughter. Otherwise, once you have gone out with my little girl, you will continue to date no one but her until she is finished with you. If you make her cry, I will make you cry.

Rule Seven
As you stand in my front hallway, waiting for my daughter to appear, and more than an hour goes by, do not sigh and fidget. If you want to be on time for the movie, you should not be dating. My daughter is putting on her makeup, a process that can take longer than painting the Golden Gate Bridge. Instead of just standing there, why don't you do something useful, like changing the oil in my car?

Rule Eight
The following places are not appropriate for a date with my daughter: Places where there are beds, sofas, or anything softer than a wooden stool; Places where there are no parents, policemen, or nuns within eyesight; Places where there is darkness; Places where there is dancing, holding hands, or happiness; Places where the ambient temperature is warm enough to induce my daughter to wear shorts, tank tops, midriff T-shirts, or anything other than overalls, a sweater, and a goose down parka -- zipped up to her throat. Movies with a strong romantic or sexual theme are to be avoided; movies which features chain saws are okay. Hockey games are okay. Old folks homes are better.

Rule Nine
Do not lie to me. I may appear to be a potbellied, balding, middle-aged, dimwitted has-been. But on issues relating to my daughter, I am the all-knowing, merciless God of your universe. If I ask you where you are going and with whom, you have one chance to tell me the truth, the whole truth and nothing but the truth. I have a shotgun, a shovel, and five acres behind the house. Do not trifle with me.

Rule Ten
Be afraid. Be very afraid. It takes very little for me to mistake the sound of your car in the driveway for a chopper coming in over a rice paddy near Hanoi. When my Agent Orange starts acting up, the voices in my head frequently tell me to clean the guns as I wait for you to bring my daughter home. As soon as you pull into the driveway you should exit your car with both hands in plain sight. Speak the perimeter password, announce in a clear voice that you have brought my daughter home safely and early, then return to your car -- there is no need for you to come inside. The camouflaged face at the window is mine.

Tuhan Sembilan Senti

Oleh Taufiq Ismail

Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,

Di sawah petani merokok,
di pabrik pekerja merokok,
di kantor pegawai merokok,
di kabinet menteri merokok,
di reses parlemen anggota DPR merokok,
di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok, hansip-bintara-perwira
nongkrong merokok,
di perkebunan pemetik buah kopi merokok,
di perahu nelayan penjaring ikan merokok,
di pabrik petasan pemilik modalnya merokok,
di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi
perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok,
di ruang kepala sekolah...ada guru merokok,
di kampus mahasiswa merokok,
di ruang kuliah dosen merokok,
di rapat POMG orang tua murid merokok,
di perpustakaan kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan
cara merokok,

Di angkot Kijang penumpang merokok,
di bis kota sumpek yang berdiri yang duduk orang bertanding merokok,
di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok,
di kapal penyeberangan antar pulau penumpang merokok,
di andong Yogya kusirnya merokok, sampai kabarnya kuda andong minta
diajari pula merokok,

Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok,
tapi tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di pasar orang merokok,
di warung Tegal pengunjung merokok,
di restoran, di toko buku orang merokok,
di kafe di diskotik para pengunjung merokok,

Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,

Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya,
tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok
di kantor atau di stopan bus,
kita ketularan penyakitnya.
Nikotin lebih jahat penularannya ketimbang HIV-AIDS,

Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di
dunia,
dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu, bisa
ketularan kena,

Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok,
di apotik yang antri obat merokok,
di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok,
di ruang tunggu dokter pasien merokok,
dan ada juga dokter-dokter merokok,

Istirahat main tenis orang merokok,
di pinggir lapangan voli orang merokok,
menyandang raket badminton orang merokok,
pemain bola PSSI sembunyi-sembunyi merokok,
panitia pertandingan balap mobil, pertandingan bulutangkis, turnamen sepakbola
mengemis-ngemis mencium kaki sponsor perusahaan rokok,

Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok,
di dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok,
di ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang
goblok merokok,

Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,

Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning
dan mempersiapkan sejumlah fatwa.
Mereka ulama ahli hisap.
Haasaba, yuhaasibu, hisaaban.
Bukan ahli hisab ilmu falak,
tapi ahli hisap rokok.

Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil,
sembilan senti panjangnya,
putih warnanya,
kemana-mana dibawa dengan setia,
satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya,

Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang,
tampak kebanyakan mereka memegang rokok dengan tangan kanan,
cuma sedikit yang memegang dengan tangan kiri.
Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul yamiin dan yang
sedikit golongan ashabus syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu.
Mamnu'ut tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz.
Kyai, ini ruangan ber-AC penuh.
Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok.
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadhlik, ya ustadz.
25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan.
15 penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan.
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul
khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.

Jadi ini PR untuk para ulama.
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,

Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini.
Banyak yang diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi
itu, yaitu ujung rokok mereka.
Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir.
Asap rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,

Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini,
sejak tadi pagi sudah 120 orang di Indonesia mati karena penyakit rokok.
Korban penyakit rokok lebih dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu
lintas,

lebih gawat ketimbang bencana banjir, gempa bumi dan longsor,
cuma setingkat di bawah korban narkoba,

Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat
berkuasa di negara kita,
jutaan jumlahnya,
bersembunyi di dalam kantong baju dan celana,
dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna,
diiklankan dengan indah dan cerdasnya,

Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri,
tidak perlu ruku' dan sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini,
karena orang akan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan
api dan sesajen asap tuhan-tuhan ini,

Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Selasa, 16 September 2008

Sudah merasa bersalah kok masih dimarahi

Kemarin ketika sedang asyik memelototi layar monitor di kantor, saya menerima telpon dari rumah. Ternyata anak saya, Raina (3), yang bicara. Sering kali memang kedua anak saya meminta ibunya untuk menelpon saya. Kalimat pertamanya lumayan bikin jantung saya hampir copot. “Bapak, tangan Ai tatit, datoh dali motol (Bapak, tangan Ai sakit, jatuh dari motor-red).” Usut punya usut, ternyata beberapa menit sebelumnya motor yang dikendarai istri saya terjatuh tepat di depan pintu keluar TK/TPA tempat Raina terdaftar sebagai anak didik. Penyebabnya, seorang pengendara motor lain, yang mungkin sedang kebelet buang air, ngebut di jalan depan pintu keluar TK/TPA tersebut, sehingga istri saya yang baru saja akan berkendara keluar kaget dan hilang keseimbangan. Walhasil istri dan anak saya terjatuh. Beruntung bapak-bapak yang kebetulan ada di sekitar situ berbaik hati membantu mereka. Tidak ada luka serius, hanya pergelangan tangan istri saya agak terkilir karena menahan jatuh dirinya dan Raina. Karena kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan, saya tidak perlu ijin pulang lebih awal.

Singkat kata, pada malam harinya istri dan anak saya bercerita kembali mengenai kejadian pagi itu, dengan tambahan detil yang tidak sempat diceritakan sebelumnya. Rupanya istri saya sempat sewot pada salah satu penolongnya, seorang bapak yang ’bawel’. Jadi alih-alih menolong, bapak itu malah sibuk berkomentar menyudutkan istri saya.

”Wah, ibu sih buru2, jadi ngga liat2 motor yang lewat.”
”Ini motor pasti koplingnya bermasalah. Ngga pernah diservis ya, bu?” (Padahal itu motor skuter otomatis, ngga ada koplingnya. Dan di platnya pun tertulis 08:13, jadi blm waktunya diservis.-red)
”Ibu jangan2 ngantuk ya?”
Bla-bla-bla... dll. ... etc.

Istri saya, yang memang agak merasa bersalah karena kurang hati2, jadi sewot dan melotot. “Bapak nolong-nolong aja, ngga usah banyak komentar yang ngga penting,” balasnya. Intinya, istri saya merasa kesal pada bapak yang satu itu. Orang sedang kesusahan, dan sudah merasa bersalah, kenapa lagi harus dicerocosi komentar yang tidak pada tempatnya? Saya setuju 100%.

Beberapa detik berselang, anak saya, Wina (6), tanpa sengaja menyenggol gelas berisi minuman hingga tumpah. Istri saya melotot dan dengan nada agak tinggi berkata, “Makanya hati2!” Wina yang merasa bersalah cuma bisa menyahut dengan lirih, “Aku ngga sengaja.” Tapi ibunya masih terus memarahi.

Ketika saya akhirnya berkomentar, “Orang sudah merasa bersalah, baiknya ngga usah dimarahi,” istri saya pun melotot lagi.

Senin, 15 September 2008

Tangan Kiri vs Tangan Kanan

Saya seorang muslim. Setidaknya itulah status yang tertera di KTP saya saat ini. Entah apakah Yang Maha Menggenggam Dunia mengakui atau tidak. Yang jelas saya selalu berusaha untuk menjangkarkan tiap tindak tanduk ke sana, tentu saja, berdasarkan nalar saya yang amat sangat terbatas banget sekali.

Sehubungan dengan itu, ada satu kejadian yang sampai saat ini masih tidak lepas dari pikiran saya. Kejadian itu berupa pembicaraan hangat dengan seorang kerabat yang tak lama lagi akan berangkat menunaikan rukun Islam pamungkas. Awalnya kami hanya bersenda gurau tentang persiapan beliau ke tanah (yang menurut 99,999% umat Islam) suci. Lalu topik obrolan berkembang hingga pada suatu detik, saya mengambil gelas minuman dengan tangan kiri. Beliau pun menegur.

"Sunnahnya pake tangan kanan lho, Om."
"Iya ya? Kenapa ya?"
"Ya, yang kanan kan memang mewakili hal2 yang baik."
"Ah, jangan mulai mempolitisir anggota tubuh. Kata siapa?"
"Ya, sunnahnya ya seperti itu. Kita kan cuma bisa sami'na wa atho'na (kami mendengar, kami patuh-red)"
"Tapi yg namanya sunnah kan pasti ada penjelasan yg bisa diterima akal sehat, supaya kita tidak taqlid buta."
"Huss, agama jangan dimaknai dengan akal. Nanti bingung sendiri sampeyan."
"Emang bingung. Tangan kiri & kanan saya kan masing2 punya hak untuk berfungsi."
"Tuh kan. Hati2 lho, sampeyan."

Setelah itu saya cuma cengengesan, dan beliau pun lantas menganggap saya bercanda. Padahal tidak. Saya memutuskan untuk tidak merespon lagi karena saya tahu bahwa saya dan beliau sama2 tidak siap untuk melanjutkannya. Saya tidak mau berdebat kusir.

Tapi memang, sudah sejak lama saya memegang prinsip: Jika kita tidak bisa adil pada diri kita sendiri, mana mungkin kita bisa bersikap adil pada orang lain? Karena itu, saya tidak pernah memaksa anak2 saya untuk menyuap makanan dengan tangan kanan. Saya tidak pernah menegur mereka ketika mereka memberi sesuatu kepada saya dengan menggunakan tangan kiri. Yang saya lakukan adalah, ketika mereka sudah mulai bisa berkomunikasi secara verbal dengan efektif, saya mulai memberitahu mereka tentang penerimaan lingkungan, bahwa di masyarakat sekitar kami, orang2 masih menganggap bahwa tangan kanan lebih disukai ketimbang tangan kiri dengan berbagai alasan. Tapi dengan saya, mereka tahu bahwa tangan kiri & kanan yang melekat di tubuh mereka memiliki harkat yang sama. Keduanya berfungsi sama dan saling melengkapi.

Berdosakah saya mempertanyakan sunnah? Hmmm..., siapa lah saya, hingga berani menggugat sebuah sunnah. Yang saya pertanyakan hanyalah, benarkah seorang manusia mulia yang berhasil mempersatukan lebih dari separuh dunia menyarankan umatnya untuk membedakan tangan kiri & kanan? Apakah mungkin itu hanya persepsi orang2 di sekitar beliau yang melihat beliau (yang memang kebetulan bukan seorang kidal) pada saat menyuap nasi dengan tangan kanan?

Mudah2an para pengagum tangan kanan tidak merasa terganggu dengan tulisan ini.

I Love You - from Patch Adams



I love you without knowing how

or when

or from where


I love you straightforwardly

without complexity


So close

that your hand on my chest

is my hand


So close

that when you close your eyes

I fall asleep