Saya seorang muslim. Setidaknya itulah status yang tertera di KTP saya saat ini. Entah apakah Yang Maha Menggenggam Dunia mengakui atau tidak. Yang jelas saya selalu berusaha untuk menjangkarkan tiap tindak tanduk ke sana, tentu saja, berdasarkan nalar saya yang amat sangat terbatas banget sekali.
Sehubungan dengan itu, ada satu kejadian yang sampai saat ini masih tidak lepas dari pikiran saya. Kejadian itu berupa pembicaraan hangat dengan seorang kerabat yang tak lama lagi akan berangkat menunaikan rukun Islam pamungkas. Awalnya kami hanya bersenda gurau tentang persiapan beliau ke tanah (yang menurut 99,999% umat Islam) suci. Lalu topik obrolan berkembang hingga pada suatu detik, saya mengambil gelas minuman dengan tangan kiri. Beliau pun menegur.
"Sunnahnya pake tangan kanan lho, Om."
"Iya ya? Kenapa ya?"
"Ya, yang kanan kan memang mewakili hal2 yang baik."
"Ah, jangan mulai mempolitisir anggota tubuh. Kata siapa?"
"Ya, sunnahnya ya seperti itu. Kita kan cuma bisa sami'na wa atho'na (kami mendengar, kami patuh-red)"
"Tapi yg namanya sunnah kan pasti ada penjelasan yg bisa diterima akal sehat, supaya kita tidak taqlid buta."
"Huss, agama jangan dimaknai dengan akal. Nanti bingung sendiri sampeyan."
"Emang bingung. Tangan kiri & kanan saya kan masing2 punya hak untuk berfungsi."
"Tuh kan. Hati2 lho, sampeyan."
Setelah itu saya cuma cengengesan, dan beliau pun lantas menganggap saya bercanda. Padahal tidak. Saya memutuskan untuk tidak merespon lagi karena saya tahu bahwa saya dan beliau sama2 tidak siap untuk melanjutkannya. Saya tidak mau berdebat kusir.
Tapi memang, sudah sejak lama saya memegang prinsip: Jika kita tidak bisa adil pada diri kita sendiri, mana mungkin kita bisa bersikap adil pada orang lain? Karena itu, saya tidak pernah memaksa anak2 saya untuk menyuap makanan dengan tangan kanan. Saya tidak pernah menegur mereka ketika mereka memberi sesuatu kepada saya dengan menggunakan tangan kiri. Yang saya lakukan adalah, ketika mereka sudah mulai bisa berkomunikasi secara verbal dengan efektif, saya mulai memberitahu mereka tentang penerimaan lingkungan, bahwa di masyarakat sekitar kami, orang2 masih menganggap bahwa tangan kanan lebih disukai ketimbang tangan kiri dengan berbagai alasan. Tapi dengan saya, mereka tahu bahwa tangan kiri & kanan yang melekat di tubuh mereka memiliki harkat yang sama. Keduanya berfungsi sama dan saling melengkapi.
Berdosakah saya mempertanyakan sunnah? Hmmm..., siapa lah saya, hingga berani menggugat sebuah sunnah. Yang saya pertanyakan hanyalah, benarkah seorang manusia mulia yang berhasil mempersatukan lebih dari separuh dunia menyarankan umatnya untuk membedakan tangan kiri & kanan? Apakah mungkin itu hanya persepsi orang2 di sekitar beliau yang melihat beliau (yang memang kebetulan bukan seorang kidal) pada saat menyuap nasi dengan tangan kanan?
Mudah2an para pengagum tangan kanan tidak merasa terganggu dengan tulisan ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tulisan lo bagus muk.
BalasHapusgw setuju bukan soal gugat menggugat agama (apa pun). Tuhan menciptakan dua tangan pasti pny fungsi biologis yg sama. coba perhatikan kedua tgn kita, dua2nya sama tak ada beda cm yg mbedakan namanya kanan dan kiri.
coba kita perhatikan lagi.. tangan kiri kita yg jarang sekali digunakan karena dinilai tidak baik menjadi lemah kan. dipakai menulis gagap, menyuap nasi apa lagi..
bagaimana dgn organ lain yg jg berpasangan ?
kita punya dua kaki, dua mata, dua paru-paru, dua dua ginjal, dua telinga, apa nilai yg satu beda dengan yg lainnya?? nggak kan?
hehehehe, betul tante lili. mata kiri gue aja suka protes, krn pernah gue coba beberapa kali cuma gue pake utk ngeliat yg jelek2, sambil mata kanan gue merem. hahahahahaha
BalasHapus