Kemarin ketika sedang asyik memelototi layar monitor di kantor, saya menerima telpon dari rumah. Ternyata anak saya, Raina (3), yang bicara. Sering kali memang kedua anak saya meminta ibunya untuk menelpon saya. Kalimat pertamanya lumayan bikin jantung saya hampir copot. “Bapak, tangan Ai tatit, datoh dali motol (Bapak, tangan Ai sakit, jatuh dari motor-red).” Usut punya usut, ternyata beberapa menit sebelumnya motor yang dikendarai istri saya terjatuh tepat di depan pintu keluar TK/TPA tempat Raina terdaftar sebagai anak didik. Penyebabnya, seorang pengendara motor lain, yang mungkin sedang kebelet buang air, ngebut di jalan depan pintu keluar TK/TPA tersebut, sehingga istri saya yang baru saja akan berkendara keluar kaget dan hilang keseimbangan. Walhasil istri dan anak saya terjatuh. Beruntung bapak-bapak yang kebetulan ada di sekitar situ berbaik hati membantu mereka. Tidak ada luka serius, hanya pergelangan tangan istri saya agak terkilir karena menahan jatuh dirinya dan Raina. Karena kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan, saya tidak perlu ijin pulang lebih awal.
Singkat kata, pada malam harinya istri dan anak saya bercerita kembali mengenai kejadian pagi itu, dengan tambahan detil yang tidak sempat diceritakan sebelumnya. Rupanya istri saya sempat sewot pada salah satu penolongnya, seorang bapak yang ’bawel’. Jadi alih-alih menolong, bapak itu malah sibuk berkomentar menyudutkan istri saya.
”Wah, ibu sih buru2, jadi ngga liat2 motor yang lewat.”
”Ini motor pasti koplingnya bermasalah. Ngga pernah diservis ya, bu?” (Padahal itu motor skuter otomatis, ngga ada koplingnya. Dan di platnya pun tertulis 08:13, jadi blm waktunya diservis.-red)
”Ibu jangan2 ngantuk ya?”
Bla-bla-bla... dll. ... etc.
Istri saya, yang memang agak merasa bersalah karena kurang hati2, jadi sewot dan melotot. “Bapak nolong-nolong aja, ngga usah banyak komentar yang ngga penting,” balasnya. Intinya, istri saya merasa kesal pada bapak yang satu itu. Orang sedang kesusahan, dan sudah merasa bersalah, kenapa lagi harus dicerocosi komentar yang tidak pada tempatnya? Saya setuju 100%.
Beberapa detik berselang, anak saya, Wina (6), tanpa sengaja menyenggol gelas berisi minuman hingga tumpah. Istri saya melotot dan dengan nada agak tinggi berkata, “Makanya hati2!” Wina yang merasa bersalah cuma bisa menyahut dengan lirih, “Aku ngga sengaja.” Tapi ibunya masih terus memarahi.
Ketika saya akhirnya berkomentar, “Orang sudah merasa bersalah, baiknya ngga usah dimarahi,” istri saya pun melotot lagi.
Singkat kata, pada malam harinya istri dan anak saya bercerita kembali mengenai kejadian pagi itu, dengan tambahan detil yang tidak sempat diceritakan sebelumnya. Rupanya istri saya sempat sewot pada salah satu penolongnya, seorang bapak yang ’bawel’. Jadi alih-alih menolong, bapak itu malah sibuk berkomentar menyudutkan istri saya.
”Wah, ibu sih buru2, jadi ngga liat2 motor yang lewat.”
”Ini motor pasti koplingnya bermasalah. Ngga pernah diservis ya, bu?” (Padahal itu motor skuter otomatis, ngga ada koplingnya. Dan di platnya pun tertulis 08:13, jadi blm waktunya diservis.-red)
”Ibu jangan2 ngantuk ya?”
Bla-bla-bla... dll. ... etc.
Istri saya, yang memang agak merasa bersalah karena kurang hati2, jadi sewot dan melotot. “Bapak nolong-nolong aja, ngga usah banyak komentar yang ngga penting,” balasnya. Intinya, istri saya merasa kesal pada bapak yang satu itu. Orang sedang kesusahan, dan sudah merasa bersalah, kenapa lagi harus dicerocosi komentar yang tidak pada tempatnya? Saya setuju 100%.
Beberapa detik berselang, anak saya, Wina (6), tanpa sengaja menyenggol gelas berisi minuman hingga tumpah. Istri saya melotot dan dengan nada agak tinggi berkata, “Makanya hati2!” Wina yang merasa bersalah cuma bisa menyahut dengan lirih, “Aku ngga sengaja.” Tapi ibunya masih terus memarahi.
Ketika saya akhirnya berkomentar, “Orang sudah merasa bersalah, baiknya ngga usah dimarahi,” istri saya pun melotot lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar