Kamis, 05 Juni 2008

Sekolah Negeri Reguler - Percontohan - Standar Nasional - Standar Regional/Internasional???

Semenjak anak saya yang pertama, Wina, masih di Playgroup, saya dan istri sering berdiskusi tentang pendidikan anak-anak kami. Secara umum, pastilah isinya berkisar sekolah mana yang terbaik dari segi kualitas pengajaran ilmu pengetahuan dan pendidikan disiplin. Ada beberapa pandangan berseberangan antara saya dan istri, dan semua perbedaan itu berlatar belakang sejarah pendidikan kami yang agak berbeda.

Sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, saya selalu duduk di bangku sekolah negeri. Hasilnya ya seperti saya sekarang ini. Sedangkan istri saya hanya bersekolah di negeri pada tingkat SMP & SMA. Berangkat dari pengalamannya, istri saya bersikukuh bahwa pendidikan dasar untuk anak kami harus didapat di sebuah institusi yang mengajarkan disiplin dengan ketat, & menurutnya sedikit sekali sekolah negeri yang memiliki reputasi baik dalam hal pengajaran disiplin. Jadi, intinya anak kami harus masuk SD swasta dengan reputasi baik.

Saya pribadi setuju saja dengan pendapatnya mengenai pentingnya pendidikan disiplin untuk anak kami. Walaupun untuk masuk sekolah swasta, kami harus mengeluarkan dana ekstra. Tapi kalau memang demi anak, saya rela. Masalahnya, saya kurang setuju dengan pendapatnya bahwa SD swasta tertentu merupakan pilihan terbaik untuk anak kami. Saya yakin bahwa "pendidikan" yang sejati seharusnya ada di rumah. Sekolah hanya memberi standarisasi dan melengkapi dengan informasi yang bisa memperkaya wawasan seorang anak. Di sekolah pula seorang anak bisa memperluas wawasan metakognitifnya, lewat pergaulan dengan anak seusianya.

Saya juga kurang setuju dengan pendapatnya bahwa dengan bersekolah di institusi yang ternama, masa depan anak kami akan "cerah". Bukan sekolah yang membuat seseorang bisa menjadi dokter, presiden, atau peneliti lapangan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa saya bisa saja menjadi seorang direktur perusahaan terkenal andai dulu saya bersekolah di SD A, SMP B, atau SMA C.

Jalan tengah mulai terbuka ketika kami mulai banyak mendengar tentang perubahan status & standar beberapa institusi pendidikan di sekitar tempat tinggal kami. Ada yang berubah menjadi sekolah percontohan, sekolah standar nasional, hingga sekolah standar regional/internasional. Sampai saat ini, saya masih belum mengerti dengan jelas apa yang membedakan status sekolah-sekolah itu, selain dari jumlah siswa dalam satu kelas. Di sekolah reguler, di dalam satu kelas terdapat kurang lebih 40-50 siswa. Sedangkan di sekolah-sekolah dengan status-status yang tersebut di atas, jumlah siswa dalam satu kelas hanya 28. Oke lah, hal itu mungkin bisa membuat perbedaan. Tetapi dari segi kurikulum dan kualitas pengajar, saya belum terlalu banyak mempelajari. Dan dengan meningkatnya status banyak sekolah tersebut, standar istri saya bisa agak berbelok. Dia mulai berpikir, mungkin tidak ada salahnya mencoba sekolah negeri berstandar nasional/regional/internasional. Hmm, setidaknya saya bisa terbebas dari kewajiban mengeluarkan biaya ekstra, hehehe.

Ada satu hal yang cukup membingungkan bagi saya, dan mungkin juga bagi banyak orang tua lain. Hampir semua sekolah dasar yang saya tahu hanya mau menerima siswa yang sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (doing calculation, bukan sekedar counting). Padahal, saya kerap mendengar bahwa pemerintah telah membuat peraturan yang melarang Taman Kanak-Kanak untuk memasukkan pelajaran membaca/menulis dalam kurikulumnya. Tapi, ah sudahlah, hal itu bisa disiasati dengan mengefektifkan peran kami sebagai orang tua. Untungnya, istri saya sangat rajin melatih anak saya membaca, menulis, dan berhitung. Saya hanya membantu sedikit untuk memperlancar. Tapi tetap saja, bila sistem pendidikan yang ada sekarang tidak dibenahi, situasinya akan tambah sulit bagi para pengguna jasa pendidikan di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar